TopMenu

Senin, 26 Agustus 2013

Tidak Mampu atau Tidak Ingin?



Miskin, tertinggal dan jauh dari gemerlap dunia luar, adalah kata-kata yang sering disematkan kepada potret kehidupan daerah terpencil dan perbatasan antar negara. Kata-kata  yang memang sebuah fakta dan menjadi polemik di negara kaya raya, Indonesia. Pembangunan yang tidak merata dan tidak menyeluruh  adalah sebab utama dari kehidupan di daerah terpencil dan perbatasan antar negara yang serba terbatas.  

Potret Keterbatasan Kehidupan Wilayah Terpencil Indonesia dan Perbatasan Antar Negara

Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, tepatnya 52 kilometer arah barat Kota Kefamenanu, ibukota Kabupaten TTU, daerah batas darat wilayah Republik Indonesia dengan Timor Leste, merupakan salah satu dari sekian banyak daerah perbatasan antar negara yang ada di Indonesia dengan kehidupan serba terbatas dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari keterbatasan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan hingga telekomunikasi. 

Kehidupan warga desa Tasinifu sangatlah berbeda  dengan kehidupan warga perkotaan. Anak-anak yang bertubuh kurus kering karena mengalami gizi buruk sangatlah mudah  dijumpai. Sebagai contoh adalah  Mikael Kuamoni 3 tahun, Mario Kuamoni 2 tahun, Anjolina Tefa 2 tahun, dan Maria Tefa 3 tahun,  yang merupakan anak-anak yang menderita gizi buruk (News.Okezone,  2013).  Penderitaan mereka tak pernah berhenti, bukan hanya kesulitan ekonomi,  prasarana kesehatanpun sangat minim sehingga melengkapi penderitaan mereka. Karena  sangat kurangnya sarana dan prasarana kesehatan, warga desa Tasinifu terpaksa menimbang dan imunisasi balita di  bawah pohon karena tidak memiliki bangunan Posyandu (Kompas, 2013). 

                     Gambar 1, Warga desa Tasinifu menimbang dan imunisasi balita di bawah pohon (Kompas, 2013)

Bertani dan berternak adalah mata pencarian utama warga desa Tasinifu. Penghasilan yang mereka lakoni tidaklah cukup untuk menutupi biaya kehidupan mereka. Sangatlah miris, pada saat tidak sedikit  orang di negeri kaya raya ini menghambur-hamburkan uang, warga desa Tasinifu harus membayar listrik menggunakan ternak seperti anjing, babi dan ayam. Hal ini terpaksa mereka lakukan demi sedikit penerangan di malam hari (TribunNEws, 2013).   

Setali tiga uang dengan masalah ekonomi dan kesehatan, masalah telekomunikasipun menjadi polemik. Sinyal ponsel adalah sesuatu yang sangat langka bagi warga desa Tasinifu. Sinyal terdapat hanya pada daerah tertentu saja. Hal ini disebabkan sangat kurangnya pembangunan jaringan dan penyediaan layanan jasa telekomunikasi. Bukit Cinta Oelbinose, adalah sebuah fakta yang hingga kini masih bisa dijumpai. 

Untuk memperoleh sinyal ponsel, warga desa Tasinifu harus menuju sebuah bukit yang disebut Bukit Cinta Oelbinose.  Bukit Cinta ini terletak di kawasan pegunungan  Mutis,  Oelbinose. Mulai dari orang tua hingga kawula muda harus mendaki Bukit Cinta demi memperoleh sedikit sinyal ponsel. Dikarenakan banyaknya kawula muda yang mengunjungi bukit tersebut, maka bukit tersebut terkenal dengan nama Bukit Cinta Oelbinose (Kompas, 2013).
                         

Gambar 2, Bukit Cinta Oelbinose, Tempat untuk Memperoleh Sinyal Ponsel (Regional.Kompas, 2013)

Perjuangan yang tidak ringan, bisa dibayangkan pada saat masyarakat  perkotaaan dengan mudahnya memperoleh sinyal dan menikmati berbagai macam layanan dari operator telekomunikasi,  warga desa Tasinifu harus bersusah payah menuju Bukit Cinta Oelbinose untuk memperoleh sedikit sinyal ponsel. Bahkan mereka tidak sempat untuk memikirkan berbagai macam tawaran sms gratis, paket menelpon murah hingga paket internet murah, yang ada di pikiran mereka adalah sinyal, asalkan mendapatkan sinyal, itu sudah cukup bagi mereka. 

Telekomunikasi memiliki peran penting dalam memajukan taraf hidup masyarakat. Berbagai aspek kehidupan  masyarakat  di daerah terpencil dan perbatasan antar negara, seperti desa Tasinifu,  bisa berkembang pesat dengan adanya jaringan dan penyediaan layanan jasa telekomunikasi yang baik.

Di bidang ekonomi  sosial dan budaya, taraf hidup warga akan menjadi lebih efisien. Dengan adanya jaringan ponsel dan layanan  jasa telekomunikasi yang baik, aktifitas ekonomi, seperti jual beli, bisa  berjalan lebih efisien. Biasanya warga desa Tasinifu dan warga perbatasan antar negara lainnya hanya mengandalkan kegiatan jual beli antar warga desa, dengan  jaringan dan penyediaan layanan  jasa telekomunikasi  yang baik maka kegiatan jual beli  akan menjadi lebih luas.  

Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, mempunyai sumber cagar alam gunung Mutis yang luar biasa. Bahkan telah direkomendasikan oleh pemerintah sebagai daerah Suakamargasatwa (Rinigadjo, 2010). Sangat sayang sekali, potensi  sebesar ini tidak banyak diketahui oleh orang  luar hanya dengan keterbatasan sinyal dan layanan jasa  telekomunikasi di daerah tersebut. Akan tetapi apabila terdapat jaringan dan layanan jasa  telekomunikasi yang baik, promosi sumber daya alam dan budaya yang dimiliki akan menjadi lebih luas sehingga  bisa meningkatkan taraf hidup warga setempat. 

Dalam bidang pendidikan, kualitas jaringan dan layanan jasa telekomunikasi mempunyai peranan penting. Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa kualitas pendidikan warga desa Tasinifu dan warga perbatasan  antar negara lainnya sangatlah buruk.  Dengan adanya jaringan dan layanan jasa telekomunikasi yang maksimal, tentu saja istilah Buku Sekolah  Elektronik (BSE) dan internet  tidak akan menjadi hal asing bagi masyarakat  terpencil dan perbatasan antar negara. Hal ini akan sangat membantu mereka untuk memperoleh ilmu yang membuat mereka tidak ketinggalan jauh dengan warga perkotaan. Masyarakat  perbatasan antar negara  akan dengan mudah mengakses berbagai macam informasi yang bisa mereka jadikan modal untuk meningkatkan taraf hidup dan  juga bisa mereka jadikan sebagai penangkal dari ancaman pertahanan negara sekitarnya. 

Berbeda sekali dengan masyarakat perkotaan, masyarakat perbatasan antar negara  sangat sulit menyalurkan aspirasi dan suara mereka dalam bidang politik. Jaringan dan jasa telekomunikasi yang maksimal, akan sangat membantu mereka dalam menyampaikan aspirasi. Dengan demikian tujuan e-goverment dan e-provinsi yang menuntut sebuah pemerintahan yang bersih dan transparan akan tercapai hingga kepelosok negeri, bukan hanya  di daerah perkotaan saja. 

Lalu, apakah mamfaat dari jaringan dan penyediaan  layanan jasa telekomunikasi itu akan bisa dirasakan oleh masyarakat desa Tasinifu dan masyarakat perbatasan antar negara lainnya? Atau hanya akan menjadi sebuah fatamorgana? Apakah solusi agar masyarakat desa Tasinifu dan masyarakat perbatasan antar negara lainnya bisa merasakan kehidupan yang lebih baik sebagai dampak positif dari adanya pembangunan jaringan dan penyediaan layanan jasa  telekomunikasi  seperti yang telah dijelaskan diatas? 

Jawaban dari pertanyaan diatas adalah; tentu masyarakat desa Tasinifu dan masyarakat perbatasan antar negara lainnya akan bisa merasakan dampak positif dari kualitas jaringan dan penyediaan  pelayanan jasa  telekomunikasi yang baik. Solusi yang bisa dilakukan tentu saja dengan membangun jaringan dan menyediakan layanan jasa telekomunikasi di daerah tesebut.  Permasalahan yang timbul saat ini adalah sangat kurangnya operator telekomunikasi yang bersedia membangun  jaringan dan menyediakan layanan jasa  komunikasi di daerah  terpencil dan  perbatasan antar negara.

Pembangunan Jaringan  dan Penyediaan Layanan Jasa Telekomunikasi Melalui Dana dari Operator Telekomunikasi 

Dari fakta Bukit Cinta Oelbinose kita dapat menilai bahwa operator  telekomunikasi belum optimal dalam membangun  jaringan dan menyediakan layanan jasa telekomunikasi. Statementnegatif  seperti pilih-pilih lokasi hingga hanya memikirkan untung saja timbul dan menyudutkan para operator telekomunikasi di Indonesia. 

Daerah terpencil dan perbatasan antar negara seakan-akan seperti  singa yang siap menerkam para operator telekomunikasi yang ingin mendekatinya. Sehingga membuat mereka enggan untuk membangun jaringan dan menyediakan layanan jasa telekomunikasi di daerah perbatasan antar negara. Berikut ini alasan-alasan mengapa desa Tasinifu dan daerah perbatasan antar negara lainnya menjadi seperti seekor singa  bagi para operator telekomunikasi:
1.    Lokasi yang sangat jauh dengan sarana infrastruktur yang belum baik.
2.    Penduduk yang tidak terlalu ramai.
3.   Keuntungan yang akan diperoleh oleh operator telekomunikasi  tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan bahkan  bisa saja merugi.

Dalam  telekomunikasi, dikenal sebuah istilah BTS (Base Transceiver Station) yang berfungsi sebagai pengirim dan penerima (transciver) atua dengan kata lain berfungsi untuk menjembatani perangkat komunikasi pengguna dengan jaringan menuju jaringan lain. Di daerah perkotaan, sangat  mudah dijumpai BTS yang berbentuk menara atau tower pemancar. BTS dan handphone sama-sama disebut transceiver . Karena sifatnya yang sama, baik BTS dan handphone bisa sama-sama mengirim informasi.  Saat BTS mengirim informasi kepada handphone, saat itu pula handphone bisa mengirim informasi kepada BTS secara bersama layaknya seperti saat kita mengobrol via telepon.  Jadi, BTS  adalah penyedia jaringan  (interface) berupa sinyal gelombang  elektromagnetik kepada handphone, modem, fax, dan lain sebagainya. 

Menurut Onno Widodo Purbo, seorang pakar teknologi informasi, dana pembuatan menara   Base Transceiver Station (BTS) adalah Rp. 1 hingga 3 milliar (techno.Okezone,  2012).  Pembangunan sebuah BTS tidaklah murah. Bisa dibayangkan biaya yang harus dikeluarkan oleh operator telekomunikasi jika ingin membangun menara BTS dengan dana sendiri di daerah terpencil dan perbatasan antar negara, tentu menjadi lebih mahal.  Hal ini dikarenakan lokasi yang jauh dan ditambah lagi dengan jalan menuju lokasi yang belum baik.

Fakta ini yang menyebabkan kebanyakan operator telekomunikasi menjadi tidak ingin bahkan  sama sekali tidak berani membangun jaringan dan pelayanan jasa telekomunikasi di daerah perbatasan antar negara dengan biaya sendiri. Para operator telekomunikasi lebih memilih membangun  jaringan dan menyediakan layanan telekomunikasi di daerah perkotaan yang padat  penduduk dan bisa menjanjikan laba yang besar. 

Fakta menunjukan bahwa tidak semua operator telekomunikasi tidak peduli akan jaringan dan pelayanan telekomunikasi di wilayah terpencil Indonesia dan perbatasan antar negara. Ada beberapa operator telekomunikasi yang telah membangun BTS di daerah terpencil dan perbatasan antar negara, yaitu Telkomsel, Indosat dan XL (Merdeka, 2012). Telkomsel telah membangun sekitar 286 menara BTS di wilayah terpencil Indonesia, XL dengan 6000 BTS untuk wilayah terpencil Indonesia hingga perbatasan antar negara, yang beberapa diantaranya menggunakan fasilitas 3 G dan Indosat yang memiliki menara BTS sekitar 19. 253 menara telah menjangkau wilayah terpencil dan perbatasan antar negara (Neraca, 2012).  Para operator telekomunikasi yang telah bersedia membangun BTS di wilayah terpencil dan perbatasan antar negara adalah operator yang telah menunjukan komitmen yang tinggi akan kemajuan dan pemerataan telekomunikasi dan informasi di Indonesia. 

Tidak mampu atau tidak Ingin?  

Jika pertanyaan diatas dilontarkan kepada para operator telekomunikasi yang enggan membangun jaringan dan menyediakan pelayanan jasa telekomunikasi maka Jawaban ‘tidak ingin’ adalah jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan diatas. Dengan laba yang tidak kecil, bahkan mencapai angka triliun setiap tahunnya, sangat mampu bagi operator telekomunikasi untuk membangun menara BTS sendiri. Akan merugi, yakni biaya pembangunannya mahal, penduduknya sedikit sehingga tidak akan kembali modal, inilah alasan para operator telekomunikasi yang enggan untuk membangun jaringan dan penyediaan layanan jasa telekomunikasi di daerah terpencil dan perbatasan antar negara dengan biaya sendiri.

Bisnis seluler adalah bisnis yang sangat menjanjikan. Di Indonesia saja, perputaran uang dalam bisnis seluler mencapai Rp. 400 triliun. Angka ini sangatlah wajar karena setiap orang memerlukan komunikasi dan mau tidak mau mengisi pulsa untuk berbagai macam keperluan baik untuk menelepon hingga internet (Merdeka, 2013). Dengan ladang bisnis yang menjanjikan dan didukung oleh jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah, tentu keuntungan yang bisa didapat oleh operator telekomunikasi tidaklah sedikit.

Indonesia adalah salah satu anggota dari Organisasi Komunikasi Dunia, International Telecomunication Union (ITU), yang mempunyai tujuan untuk memeratakan penyediaan layanan komunikasi dan infromatika melalui program global kewajiban pelayanan umum yang disebut juga Universal Service Obligation (USO). Operator telekomunikasi yang merupakan bagian dan memiliki peranan penting dalam pelaksanaan program ini, hendaknya bersedia berpikir lebih manusiawi. Jadi, jangan hanya memikirkan untung dan rugi saja, melainkan ada aspek moral yang harus dipikirkan. Bantulah masyarakat terpencil dan perbatasan antar negara agar hari-hari mereka tidak begitu sempit, agar pengetahuan mereka tidak selalu sempit karena terkurung oleh gelapnya kehidupan dan sulitnya menempuh jarak ruang dan waktu.

Solusi Sebagai Sebuah Titik Terang

Merupakan hal yang sangat mungkin terjadi untuk membangun jaringan dan layanan jasa telekomunikasi di daerah terpencil dan  perbatasan antar negara dengan biaya dari operator telekomunikasi. Biaya yang sangat besar akan menjadi sedikit ringan jika para operator telekomunikasi bersedia untuk bekerja sama. Biaya sekitar Rp. 1 hingga 3 milliar lebih untuk pembangunan sebuah BTS di daerah terpencil dan perbatasan antar negara  akan terasa ringan jika ditanggung bersama-sama.  Satu BTS juga bisa digunakan bersama-sama oleh lebih dari 2 operator telekomunikasi. 

Kontribusi pemerintah sangatlah diperlukan guna  membantu para operator telekomunikasi untuk memajukan taraf hidup masyarakat di daerah terpencil dan  perbatasan antar negara. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh berpangku tangan saja. Kontribusi pemerintah bisa berbentuk kemudahan perizinan dan membangun  infrastruktur di daerah tersebut. Dengan adanya kontribusi pemerintah, maka  bisa membangkitkan semangat para operator telekomukasi untuk membangun jaringan dan layanan jasa telekomunikasi di daerah terpencil dan perbatasan antar negara.

Apabila para operator telekomunikasi  tidak bersedia untuk membangun  jaringan dan pelayanan jasa telekomunikasi di daerah terpencil dan perbatasan antar negara hanya dikarenakan modal yang besar dan takut merugi, maka pemerintah harus mengambil alih tugas ini. Pemerintah harus membangun BTS di wilayah terpencil dan daerah perbatasan antar negara yang kemudian bisa disewakan kepada para operator telekomunikasi yang tentunya bisa dijadikan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Open BTS Sebagai Alternatif Lain

Open Base Transceiver Station (Open BTS) bisa dijadikan alternatif lain guna mengganti BTS komersial yang dibangun operator telekomunikasi di daerah perkotaan atau daerah penyumbang laba yang besar bagi bisnis telekomunikasi. Open BTS adalah sebuah BTS GSM yang berbasis software open source. BTS jenis ini bisa digunakan masyarakat untuk melakukan komunikasi baik SMS maupun  menelpon tanpa menggunakan jaringan BTS komersial yang dibangun operator telekomunikasi. Nilai plus dari open BTS adalah tidak diperlukannya biaya atau pulsa (detik.com, 2012). 

Open BTS bisa dibuat sendiri dengan menggunakan perangkat software yang ditunjang oleh perangkat hardware. Perangkat hardware yang berbentuk komputer, laptop  atau notebook haruslah mempunyai program Linux yang kemudian ditunjang dengan perangkat  software open source. Open BTS memiliki jangkauan minimal 5 hingga 10 meter dengan konsumsi listrik 100 mili Watt. Jangkauan Open BTS bisa lebih jauh bahkan mencapai 5 kilometer lebih jika menggunakan power amplifier 10 watt yang berharga sekitar Rp. 120 juta (Kompas, 2011). Terkesan sederhana tetapi memiliki mamfaat yang luar biasa. Open BTS bisa menjadi alternatif lain bagi masyarakat wilayah terpencil dan perbatasan antar negara untuk memperoleh sinyal ponsel. Akan tetapi tidak mungkin bagi masyarakat wilayah terpencil Indonesia dan perbatasan antar negara untuk membangun open BTS sendiri. Untuk makan sehari-hari saja sangat sulit bagi mereka. Diperlukan bantuan dari operator telekomunikasi dan pemerintah untuk menjadikan open BTS ini sebagai alternatif lain.

Sesuai Undang-undang No. 36/1999 tentang telekomunikasi, penggunaan Open BTS adalah tindakan ilegal. Hal ini dikarenakan belum ada aturan hukum sah yang mengatur penggunaannya (Detik, 2012). Pernyataan pemerintah untuk melarang penggunaan Open BTS ini sangatlah wajar apabila pemerataan komunikasi dan pengetahuan telah terlaksana sepenuhnya hingga kepelosok negeri. Akan tetapi, fakta kehidupan warga desa Tasinifu dan warga desa di wilayah terpencil dan perbatasan antar negara lainnya merupakan  bukti nyata bahwa pemerataan itu belum terwujud.  Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah  akses informasi dan pengetahuan adalah hak azazi manusia yang paling mendasar . Hal ini sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration of Human Right, pasal 19 dan 26. 

Ketidakinginan dari kebanyakan operator telekomunikasi untuk  membangun jaringan dan penyediaan layanan jasa telekomunikasi di wilayah terpencil dan daerah perbatasan antar negara tidak boleh dijadikan alasan untuk tidak dibangunnya jaringan dan pelayanan jasa telekomunikasi tersebut. Oleh karena itu baik dengan biaya dari operator telekomunikasi ataupun  bukan, pembangunan jaringan dan penyediaan layanan jasa telekomunikasi di wilayah terpencil dan perbatasan antar negara harus tetap dilakukan demi kemajuan taraf hidup masyarakat setempat.  

DAFTAR PUSTAKA


Detik. 2012. Bangun Open BTS Hanya Butuh 30 Juta. Terbit tanggal 10 Januari 2012.
Detik. 2012. BRTI: Open BTS Masih Terlarang. Terbit tanggal 1 Januari 2012.
Kompas. 2011. Dasar-Dasar Merakit OpenBTS ala Onno Purbo. Terbit tanggal 27 Desember 2011.
Kompas. 2013. Tak Ada Posyandu, Warga Timbang Balita di Bawah Pohon. Terbit Tanggal 29 Mei 2013.
Kompas. 2013. Warga di TTU Pergi ke Bukit Demi Menelpon Via Ponsel. Terbit tanggal 14 Februari 2012.
Merdeka. 2013. Perputaran Uang Sektor Telekomunikasi Capai RP. 400 T Per Tahun. Terbit tanggal 20 Mei 2013.
Merdeka. 2012. Tiga Operator Seluler Dukung Pembangunan BTS di Perbatasan. Terbit tanggal 16 Mei  2012.
Neraca. 2012. Operator Seluler Berlomba Membangun BTS. Terbit tanggal 7 April 2012.
Okezone. 2013. 4 Anak di Perbatasan Menderita Gizi Buruk. Terbit Tanggal 31 Mei 2013.
Okezone. 2012. Berapa Biaya untuk Bangun Open BTS? Terbit tanggal 14 Februari 2012.
TribunNews. 2013. Warga Desa Bayar Listrik Pakai Ternak. Terbit tanggal 27 Februari 2013.


NB: Naskah ini diikutsertakan dalam lomba XL AWARD 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar