TopMenu

Sabtu, 14 September 2013

Cerita Belajar Mencari Uang Dengan Pelajaran Uang 50.000

Saya ingin memberikan cerita mengenai uang 50000. Ini adalah cerita seorang yang ingin belajar bisnis alias belajar mencari uang kaya. Katakanlah Si Rijal ingin belajar bisnis kepada Si Rojul. Pelajaran yang akan diberikan adalah mengenai “Pelajaran Uang 50000”.

Inilah ceritanya…

“Jul, kamu kan sekarang sudah sukses membangun bisnis. Hebat! Sampai saya ngiri sama kamu.”

“Benarkah kamu ngiri? Boleh-boleh saja. Tetapi ucapan itu merupakan lelucon saja. Karena dulu saya sudah mengajakmu kerjasama bisnis tetapi alasan kamu tidak punya banyak waktu. Padahal kamu adalah orang yang punya banyak uang karena orang tua kamu kaya.”

“Ya sudah. Untuk menyembuhkan rasa iriku, saya ingin belajar mencari uang kaya sama kamu.”

“Boleh juga. Tetapi ada syaratnya.”

“Apa itu?”

“Syaratnya harus rela berkorban.”

“Okey, saya akan berusaha menuruti omonganmu. Lalu apa lagi?”

“Ya rela berkorban. Tentu ada banyak macamnya. Sebagai pelajaran pertama, sediakan uang 50000.”

“Apa? Sekecil itukah? Beres dah. Uang 50000 sebagai bayaran untuk kamu kan? Nih uang nya…”

“Bukan, saya bilang sebagai pelajaran pertama yaitu pelajaran uang 50000.”

“Okey. Ini mah kecil.”

“Kecil? Bagus kalau mengira begitu. Sekarang, belilah produk-produk dengan uang 50000 yang gunanya untuk kamu jual kembali. Ini uang kamu saya balikan lagi. Sekarang lakukan.”

“Apa? Saya harus membeli produk lalu saya jual kembali? Lalu dapat apa dengan uang 50000 dan dapat pelajaran bisnis apa?”

“Bila kamu rela berkorban, lakukanlah.”

“Tetapi jelaskan dulu apa alasannya membeli produk-produk dengan uang 50000? Apakah itu terlalu kecil. Saya bisa membeli produk dengan uang 10 juta. Kenapa harus 50000?”

“Itulah salah satu alasannya membeli produk dengan uang 50000. Karena kamu orang yang mampu membeli jutaan.”

“Okey. Saya akan menuruti.”

“Lalu dengan cepatnya si Rijal membeli produk yang gunanya untuk dijual kembali. Rijal memikirkan produk apa dengan uang 50000 bisa dapat banyak. Jalan lain adalah dengan membeli produk yang dihargai murah.”

“Dengan sembari melawan malu… si Rijal terpaksa mengunjungi pasar tradisional yang memang menjual produk-produk murah. Ia membeli jajanan anak kecil.”

“Pertemuan terjadi lagi.”

“Saya sudah membeli produk dengan uang 50000. Nih.”

“Bagus. Tetapi kenapa kamu serahkan kepada saya? Bila kamu mau belajar mencari uang kaya, silahkan kamu jual.”

“Oh iya. Tetapi barang sedikit ini saya jual kemana?”

“Terserah kamu, yang jelas jangan memberi tahu kalau kamu sedang belajar bisnis. Anggaplah ini benar-benar ril sedang menjual. Saya akan awasi terus.”

“Okey! Saya akan menjual ke teman kampus biar kamu bisa mengawasi saya.”

Penjualan barang pun terjadi. Tetapi ejekan-ejekan dari teman pun mulai berdatangan menghantam perasaan Rijal. Mereka merasa aneh dengan sikap Rijal. Rijal pun semakin malu.

Dan dari jauh, si Rojul hanya memandang Rijal dengan tenang.

Karena produk yang dijual banyak yang tidak diminati, akhirnya penjualan pun tidak ada. Rijal mulai timbul kesal karena merasa diremehkan.

“Kenapa kamu memerlakukan seperti ini? Katanya mau mengajari saya bisnis. Tetapi kenapa kamu malah mempermainkanku? Pelajaran apaan ini! Nih buatmu!”

“Katanya kamu ingin belajar bisnis. Baru belajar bisnis seperti itu saja perasaanmu memanas?

“Hei, saya ini seorang mahasiswa pintar, orang tua saya kaya, kenapa kamu memberi tantangan sekecil ini? Yang lebih keren dan tidak memalukkan seperti ini.”

“Okey, saya akan memberikan tantangan lebih besar. Tetapi tetap menggunakan uang 50000. Silahkan kamu menginvestasikan uang 50000 untuk bisnis dan cari modal lagi yang banyak pada teman-temanmu jangan pada orang tuamu.

“Kenapa tidak memakai uang orang tua saya? Tapi okey lah.”

Pelajaran uang 50000 pun dimulai. Rijal memulai aksinya mengumpulkan modal bisnis. Ia menawarkan kepada teman-temannya agar mau menginvestasikan uang untuk bisnis.

Mau bisnis apa jal? Emang kamu sudah jago bisnis sampai kita-kitaan turut menginvestasikan uang. sedangkan kamu kemarin-kemarin jualan cuma produk murahan dan tidak banyak pula. Kamu makin aneh. Kenapa tidak minjam saja sama ortu,” kata si Joy

“Iya neh, padahal orang tua kamu kaya. Kenapa minta bantuan ke kita-kitaan?” kata teman satu rijal berikutnya.

“Kalau kamu tidak mau kerjasama, ya sudah. Saya hanya ingin kerjasama sama kamu. Saya akan bisnis sesuatu yang nanti akan saya pikirkan lagi.”

“Apa? Kamu belum punya gambaran bisnis? Kenapa belum tahu bisnisnya seperti apa kok sudah meminta agar kita-kitaan menginvestasikan uang.”

“Rijal mula bingung. Lagi-lagi ia protes sama si Rojul.”

“Kenapa kamu mempersulit niat serius saya untuk belajar bisnis? Sudah saya bilang, saya ini punya banyak uang. Kenapa harus meminta uang dari orang lain?”

“Katanya mau bisnis, kok sudah diberi pelajaran bisns malah protes.”

“Pelajaran bisnis apaan? Pelajaran permainan uang 50000 gitu? Kamu Cuma memermainkan saya saja!”

“Terserah kamu mau bilang apa? Kamu sudah setengah jalan berbisnis malah selalu saja protes. Bila kamu berpikir sedikit, kamu semestinya mengerti karena sebenarnya kamu itu mahasiswa pinter.”

“Mikir bagaimana? Saya tidak mengerti apa yang kamu ajarkan! Kamu hanya menyuruh ini dan itu. Coba perhatikan Pak Dosen Arif, ia mengerti mengenai bisnis lalu mengajarkan dengan jelas kepada mahasiswanya.”

“Saat saya tahu keseriusan kamu untuk belajar mencari uang kaya, saya memutuskan merancang pengajaran yang lebih mendekati kehidupan rill.”

“Saya bisa saja berbicara seperti pak Arif, dosen kewirausahaan, sampai mulut saya lelah dan otot rahang saya kaku, tetapi kamu tidak akan mendengarkan satu hal pun. Kalaupun kamu mendengarkan dengan serius dan memasukkan baik-baik ke otakmu, kamu tidak akan dapat apa-apa karena memang tidak melakukan apa-apa.”

“Jadi saya memutuskan untuk membiarkan hidup sedikit mempermainkanmu sehingga kamu bisa mendengarkan saya dan bisa langsung melakukan seperti yang saya suruh. Itulah sebabanya, saya hanya memberi pelajaran dengan uang 50000”.

“Saya akan pikirkan kata-katamu itu. Sekarang, saya ingin menenangkan diri saya dulu.”

“Okey.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar